Rabu, 16 April 2014

KARAENG MANIPI TERTEMBAK (02)

           Sementara di tempat lain. Para bajingan telah tiba di markasnya.  Mereka memasuki rumah bosnya dengan langkah mantap penuh kemenangan.  Sang pembawa misi tembak kepala Karaeng Manipi. Terlebih pimpinan regunya. Seluruh ekspresi anggota badannya tergambar jelas sangat bergembira dan berbunga-bunga.  Mulai dari cara jalan yang seakan menguasai seluruh badan jalan. Nyaris tak menyisakan sedikitpun untuk orang lain. Berjalan dengan kedua tungkai kaki dikangkang selebar mungkin. Kedua telapak tangan dikencangkan dengan tenaga penuh sambil diayun kaku bak robot android. Tangan kanannya mencabut-lepas sebatang rokok dari bibirnya yang hitam sambil mengeluarkan lingkaran asap.  “huaahahahaha..!!!!” Suara gelak tawa terdengar  membahana dari ketiga orang ini. Memamerkan giginya yang kuning karena nikotin.

“Sukses Bos..!!” Kata pimpinan regu begitu sampai di rumah bosnya. Mendengar laporan demikian sang bos tampak sangan senang.
“Coba berikan laporan secara lengkap” kata bosnya dengan wajah sumringah.
“Betul Bos, bahkan anaknya yang kecilpun nyaris saya habisi” Timpal yang lain tak mau kalah.
“Kedua anaknya Karaeng Manipi maksud kamu ?” Tanya Sang Bos agak jengkel
“Iya Bos, masak anak saya.!” Kata yang lain tak kalah bersemangatnya.   

“Adduuhhhh..!!!” Keluh Bosnya sambil mukul jidat. “Tanggung. Tanggung. Tanggung. Kenapa kamu tidak menghabisi sekalian saja”.
“Begini bos..”
“Begini apa ? Kerjamu serba tanggung dan amatiran. Tidak professional” Bentak Bosnya sambil memukul keras meja di depannya. Sepiring singkong goreng melayang berhamburan di udara. Satu diantara sekian potongan singkong menembus mulut salah seorang anak buahnya. “uenakk….lumayan mengganjal perut” bisik anak  buahnya sambil mengunyah singkong.
“Anu..bos…Saya mau menghabisi semua, tapi ….Puang Pallado bilang..” Kata salah seorang pembunuh sambil menyenggol bahu pimpinannya, “Tuh..apa kubilang..khan saya bilang kita habisi semua saja”
“Pallado bilang apa ?”
“Nanti kita terlalu banyak dosa bos” Sambungnya.

“Sejak kapan kau pintar ngomong dosa”  kata bosnya sambil menghadiahi ketupat ambon di perut  Pallado. Mendapat pukulan keras dari bosnya Pallado hanya terdiam menahan sakit.
“Coba saya mau dengar laporan eksekusimu di lapangan”
“Eksekusi dilaksanakan sesuai petunjuk bos. Kami menghabisi dulu Pak Husen. “

“Cara menghabisinya bagaimana. Apakah dijamin tak ada orang yang tahu”
“Secara kebetulan kami berpapasan di tengah jalan. Kami bertemu Pak Husen. Kesempatan emas itulah yang kami gunakan. Dijamin aman bos”
 “Bagus, bagus…hhhhmmmm…kalau begitu segera ke TKP dan habisi anak-anak mereka sebelum keadaan menjadi ramai.”  Perintah bosnya dengan bersemangat.
Melihat gelagat Bosnya, Pallado yang diberi tugas memimpin segera bergegas pergi. Menuju  rumahnya Karaeng Manipi untuk menjalankan misi kedua. Sementara dua orang lainnya, tanpa diperintah lagi  segera membungkuk-bungkukan badan lalu memutar badan menyusul pimpinan regunya. 

Sesampai di rumah Karaeng. Suasananya sudah berbeda. Cahaya obor terlihat di sana-sini. Pertanda tempat tinggal Karaeng sudah dipenuhi banyak orang.
“Apa yang bisa kita buat dalam keadaan seperti ini. Rencana sudah tidak mungkin dilakukan”  Kata pimpinannya agak putus asa.
“Kamu bego sekali. Tadi seharusnya sudah kau habisi semua.” Sambung Puang Pallado menyalahkan anak buahnya.
“Jangan salahkan saya. Tadi moncong bedilku sudah nyaris menyalak tapi karena perintahmu saya batalkan” Sanggah anak buahnya membela diri.
“Sudah.! Jangan diperpanjang dan jangan buat kesalahan lagi. Ssssttt… diam.! Kita sudah sampai” Pimpinan bajingan memperingatkan kepada anak buahnya. Ketiga orang ini mempercepat langkahnya. Tanpa disengaja, pimpinan bajingan menyenggol seseorang yang berjalan lebih pelan di depannya.

Sesampai di rumah Karaeng. Suasananya sudah berbeda. Cahaya obor terlihat di sana-sini. Pertanda tempat tinggal Karaeng sudah dipenuhi banyak orang.
“Apa yang bisa kita buat dalam keadaan seperti ini. Rencana sudah tidak mungkin dilakukan”  Kata pimpinannya agak putus asa.
“Kamu bego sekali. Tadi seharusnya sudah kau habisi semua.” Sambung Puang Pallado menyalahkan anak buahnya.
“Jangan salahkan saya. Tadi moncong bedilku sudah nyaris menyalak tapi karena perintahmu saya batalkan” Sanggah anak buahnya membela diri.
“Sudah.! Jangan diperpanjang dan jangan buat kesalahan lagi. Ssssttt… diam.! Kita sudah sampai” Pimpinan bajingan memperingatkan kepada anak buahnya. Ketiga orang ini mempercepat langkahnya. Tanpa disengaja, pimpinan bajingan menyenggol seseorang yang berjalan lebih pelan di depannya.

“Ya .. begitulah maksud terburu-buru kami. Kami datang ke sini untuk menyelidiki kematian Karaeng. Mencari tau siapa pembunuhnya. Jadi kamu jangan bertindak menghalangi. Kamu bisa dikenai tuduhan menghalang-halangi jalannya penyelidikan. Kamu bisa dituduh mau lakukan subversi.” Kata anak buah Pallado.
“Subversi. Apa itu subversi Puang ?“ Tanya orang yang ditabrak
“Perampasan kekuasan tolol.! Ngomong-ngomong apakah pelakunya sudah ketahuan ?” Sambungnya lagi.
“Be..beluuummmm..mana bisa ketahuan, orang kejadiannya dimalam gelap gulita, Puang” Jawab orang yang ditabrak. Padahal orang ini baru saja tiba. Belum ada info yang dia dapat tapi demi menghindari berurusan dengan Puang Pallado maka dia memberikan jawaban seadanya tapi meyakinkan.
 
“Bukan tidak mungkin mereka para pembunuh itu ada diantara kerumunan  orang banyak Puang. Kita perlu hati-hati“ Sambungnya.
“Akhh..sudah.! Saya tak butuh penjelasanmu.” Bentak Puang Pallado sambil melangkah lebih mendekati rumah Karaeng.

 Sementara dari arah berlawanan, tampak seorang laki-laki memikul karung. Di belakangnya ada tiga orang Bocah. Langkahnya terburu-buru.  Dia adalah Pak Dadaf bersama Wijayanti, Andi Agung, dan Menrah.  Pak Dadaf mewaspadai orang yang datang di depannya sehingga  tak memperhatikan lagi jalanan di depannya. Secara tak sengaja Pak Dadaf terperosok kedalam air comberan. Terpercik mengenai hampir seluruh baju Wijayanti, Andi Agung,  dan Menrah. Semuanya menjadi kotor dan berbau. Bahkan percikan sempat mengenai mulut Puang Pallado.
Puang Pallado kaget dan berteriak

“Hei siapa kalian.?
“Saya pengemis Puang. Anak-anak saya sudah empat hari tidak makan.” Jawab Pak Dadaf dengan menggelembungkan bagian dalam pipinya agar suaranya tersamarkan.
“untuk apa datang ke sini ?”
“Minta beras Puang”
“Minta atau menjarah”
“Iya Puang..eeee..tid” Pak Dadaf salah ucap. Sebetulya dia mau bilang “tidak” tapi terlanjur dan tak sempat lagi meralatnya
“Apa. Menjarah? Bagus!  Bagus! Bagus…! Sesekali menjarah di rumah Karaeng diperbolehkan. Jangan hanya dia saja yang menikmati hasil panennya” Mendengar jawaban Puang Pallado hati Pak Dadaf sangat plong. Karena itu berarti penyamaranya berhasil. Bahkan dengan PD Dia meminta kepada Pallado

“Puang..Minta.!” Kata Pak Dadaf sambil menengadahkan tangan kanannya. Badannya dibungkukkan hingga hampir rata dengan tanah.
“Apa minta..!! Dasar pengemis bokek tidak punya uang. Sana pergi.!!” Teriak Puang Pallado sambil melayangkan  tendangan ke bokong Pak Dadap. Kontan tubuh pak Dadap sempoyongan hampir mencium comberan. Mati-matian mempertahankan dekapannya terhadap karung agar tidak terlepas dan berhamburan isinya. Sebuah batu sebesar kepalan tangan mengganjal langkah kakinya dan “bruk !!”  Pak Dadaf terjatuh.  Berasnya berhamburan. Nyaris tak ada sisa lagi. Dasar bajingan.  Pak Dadaf membatin. 


Pak Dadaf terus saja memperhatikan Puang Pallado bersama ketiga temannya. “Hmmm..dasar pengecut dan balikbellang” bisik hati Pak Dadaf.  “Orang ini tak lebih dari ular air. Jangan-jangan…….. Tapi akhh…” Pikirannya diliputi berbagai kecurigaan. 
“Pak Dadaf kenapa menghayal. Ada apa…. ?” Tanya Menrah
“Ti..ti..dak. ayo kita pergi.!” Kata Pak Dadaf sambil meneruskan perjalanannya.

Sementara itu. Puang Pallado sudah berbaur dengan masyarakat yang memenuhi rumah Karaeng Manipi. Tidak terlihat pengamanan khusus yang biasa dikoordinir oleh Pak Husen. Beberapa tokoh masyarakat yang datang berinisiatif membentuk pengamanan swakarsa. Yaitu beberapa orang Hansip diminta untuk berjaga-jaga dan mengamankan situasi.

Ketidakmunculan Pak Husen menimbulkan kecurigaan orang-orang yang datang.  Bahkan terdengar bisik-bisik pembunuhan ini bisa terjadi karena ada kerjasama pembunuh dengan Pak Husen. Tak sedikit pula yang memberi sumpah serapah kepada Pak Husen. Menganggap Pak husen sebagai Satpol PP yang tak berguna sama sekali. “Sebagai orang yang digaji oleh daerah untuk menjaga Karaeng seharusnya dia ada di sini” Begitu bisisk-bisisk yang santer terdengar.

Sementara itu Pak Pallado dan kedua anggotanya berbaur dengan mayarakat lainnya yang hadir. Mereka dengan aktif mencari informasi keberadaan kedua anak Karaeng Manipi. Mereka berusaha menguping setiap pembicaraan.
“Kasian sekali ya Karaeng. Anak-anaknya masih bocah lagi”  salah seorang diantara yang datang bertanya ke temannya
“Iya ya. Terus anak-anaknya sekarang di mana, sedari tadi saya tidak pernah melihatnya ?” jawab temannya yang ditanya.
“Katanya sudah diungsikan. Mereka sudah tidak di rumah ini lagi”
“Terus istrinya di mana ?”

“Masih ada di rumah ini. Tadi mau diungsikan ke kota Sinjai bersama dengan mereka yang akan melaporkan kejadian ini di Pusat kota Sinjai tapi beliau menolak.”
“Kalau begitu saya yakin besok hari sudah datang tentara di Manipi sini”

Mendengar percakapan mereka, Puang Pallado dan kedua temanya semakin memperlebar lobang telinganya. Merasa misinya sulit dilaksanakan Pak Pallado memberi kode kepada dua orang anggotanya. Ia dan anak buahnya memilih pulang ke rumah Bosnya.

“Tadi itu anak-anaknya pengemis, badannya bagus-bagus ya. Subur-subur...?” Kata salah seorang bajingan sambil mencolek perut temannya. “Laki-lakinya ganteng dan perempuannya cantik. Padahal mereka hanya anak pengemis”. Sementara temannya yang dicolek diam saja.  

“Kalau saya punya anak mau rasanya berbesanan dengan itu penegmis tadi.” Katanya lagi. Lalu dia sambung dengan bertanya “Bagaimana.?”

“Ahk…bisakah kamu berhenti berkicau ! Mulutmu kayak nuri kelaparan saja tidak mau berhenti ngomong” jawab temannya sedikit kesal. Sementara Puang Pallado hanya senyum-senyum mendengar percakapan kedua anak buahnya. Namun percakapan yang terdengar di rumah Karaeng dan perjumpaannya dengan  pengemis bersama 3 orang bocah menibulkan tanda tanya bagi Puang Pallado. “Hhhmmmm….saya curiga pengemis tadi adalah Putra Putri Karaeng” Begitu dia membatin. Sementara itu kedua anak buanya masih saja asyik ngobrol.

“Karim. Saya mencurigai anak pengemis itu adalah anak Karaeng yang menyamar” kata Puang Pallado kepada salah seorang anak buahnya.

“ Iya bos. Lihat saja pakaiannya compang camping dan kotor penuh tanah tapi kelihatan sehat dan bugar. Beda mah kita ini. Badan kurus. Belum lagi seperti  si Cedak, sering batuk dan tetap kurus meski makannya rakus seperti jalak kelaparan”.
“Akh diam kamu” Kata yang lain sambil menjitak kepala temannya yang tak mau berhenti bicara. (BERSAMBUNG)






Senin, 17 Maret 2014

KARAENG MENRAH TERTEMBAK (1)

     Malam belum terlalu larut. Tetes-tetes air hujan yang jatuh dari ujung atap terdengar mengiringi detak sekondek jam yang baru menunjuk pukul 20.06 wita. Hujan baru saja berhenti. Tak ada suara jangkrik dan binatang malam lainnya. Sesekali cahaya kilat menyambar dan menerangi langit malam. Menerobos di celah-celah dinding kayu rumah Karaeng Menrah. Terdengar lolongan anjing membelah kesunyian malam mendirikan bulu roma. Lampu petromaks di dalam rumah Karaeng Menrah masih menyala. 

      Husen baru saja pulang meninggalkan istana. Husen adalah satu-satunya anggota Satuan Polisi Pamong Praja alias Satpol PP yang ditugaskan di rumah Karaeng Menrah. Situasi kondisi Menrah yang aman tenteram sebetulnya bukan masalah jika tak menempatkan anggota Satpol PP. Namun sebagai sebuah kerajaan, maka satuan pengaman sebagai aturan formal tetaplah perlu. Oleh karena itu di rumah Karaeng Menrah ditempatkanlah Bapak Husen sebagai security. 

      Tinggal di rumah Karaeng Menrah ada beberapa orang. Selain Karaeng Menrah bersama istrinya. Juga ada dua orang anaknya. Satu putri namanya Wijayanti. Dia adalah anak tertua. Usianya 7 tahun. Sedangkan yang putra bernama Andi Agung (6 tahun). Salah seorang tante Karaeng Menrah berusia 65 tahun yang belum punya suami. Namanya Karaeng Nikita. Biasa dipanggil nenek. Selain itu, masih ada beberapa orang perempuan yang membantu dalam urusan rumahtangga Karaeng Menrah. 

     Palambaranna seorang bocah laki-laki usia 6 tahun adalah ponakan Karaeng Menrah yang juga tinggal di rumah itu. Memberi gelar pada dirinya sendiri sebagai Puanta Palambaranna. 

     Seperti biasanya setiap malam menjelang tidur. Sebagai pengantar tidur. Nenek tak pernah absen untuk berdongeng buat Wijayanti dan Andi Agung. Puanta Palambaranna juga selalu ikut mendengar. Memang Puanta Palambaranna termasuk penggemar setia dongeng nenek Karaeng Nikita. Kalau malam sudah tiba maka yang paling dinanti oleh ketiga Bocah ini adalah saat-saat dimana Nenek berdongeng. Pada suatu malam. Di tengah untaian cerita sebuah dongeng Si Kancil dan Buaya. Sekonyong-konyong terdengar teriakan keras dari luar rumah. 

     Ssssstttt..!!!?? nenek memberi isyarat agar kami diam sambil meletakkan telunjuk dibibirnya. Seketika itu juga rasa penasaran akan kelanjutan cerita menjadi lenyap. Berganti menjadi kekesalan. Tapi juga kami sangat ketakutan. Bukan apa-apa. Baru kali inilah kami mendengar teriakan dari luar rumah. Apalagi di malam hari. Secara spontan Wijayanti menarik bantal. Membalikkan badan menelungkupkan dan menenggelamkan seluruh kepalanya di atas bantal. Selang beberapa menit. Merasa aman-aman saja. Wijayanti kembali membalikkan badan sambil menarik nafas panjang. Perasaannya sedikit plong. Namun sekonyong-konyong seberkas cahaya kilat menyambar langit kelam. Badan saya sedikit terangkat sementara kedua kaki saya menendang karena kaget. Percis mengenai kaki meja. Sebuah gelas terbanting pecah jatuh dari atas meja. Untung seluruh isinya telah saya habiskan. “iihkkhhh…!!” teriak Wijayanti ketakutan. 

 “We..Karaeeeeenngggg..turunko dari rumah…!!??” Kembali terdengar teriakan dari luar rumah. Mendengar teriakan itu. Kembali kami semua terdiam. Saling berpandangan dalam kebisuan. Bertanya-tanya gerangan siapa yang lancang seperti itu. Kurang ajar betul mereka. Selama ini tak pernah sekalipun kami mendengar orang berbuat lancang di rumah karaeng. Jangankan berteriak. Jalanpun, kalau memasuki halaman istana maka harus dengan adat sopan santun. Badan dibungkukkan sementara tangan harus ke bawah. Menjadi semacam penghalang antara badan orang dengan karaeng. Belum lagi setiap orang yang mau ketemu karaeng harurlah melapor dan seizing Pak Husen. Ini pasti ada yang tidak beres. Pikir Palambaranna dalam hati. Terlebih kami semua pada ketakutan karena Pak Husen sebagai security tidak ada di rumah. 

Itulah barangkali sehingga nenek mengambil inisiatif bangkit dan menuju jendela. Mencari tahu orang siapa yang lancang itu. Nenek membuka jendela. Menengok keluar namun tak melihat siapa-siapa kecuali gelapnya malam. 

 “Mana Karaeng..!!??” terdengar sebuah teriakan namun nenek tak bisa melihat orangnya. 
 “Emang kamu siapa bisa lancang begitu. ?” Teriak nenek dengan lutut gemetaran. 
“Tidak perlu kamu tahu. Cepat suruh ke sini”. 
 “Karaeng tidak ada di rumah” 
“Bohong kamu orang tua” 
“Memang ada perlu apa kamu dengan Karaeng ?” “Tidak ada keperluan khusus kecuali memenggal kepalanya..!!” 
 “Apa..??. Penggal kepala..?? Emang kamu pikir memenggal orang segampang memenggal kepala ikan” “Ini kepala saya yang kau penggal kalau kau berani” Tantang nenek yang berusaha sekuat tenaga memompa keberaniannya. 
“Hei nenek tua. Untuk apa memenggal kepalamu. Sebentar juga kau sudah bau tanah. Lagian yang saya butuh adalah kepalanya Karaeng. Bukan kepala ubanmu” 
“Apa tidak bisa ditukar dengan kepalaku. Tua-tua begini saya masih perawan. Tauu..!!!” 
“Hei nenek. Cepat. jangan banyak cincong. Dasar perempuan dua mulutnya” 
“Masih mending punya dua mulut, daripada kamu. Punya satu mulut tapi lancang tak tahu sopan santun. 
"Begini. Saya punya permintaan” 
“Minta, minta…Belli dong..!! Emang kamu pikir di dunia ini serba gratis. 
"Tapi baiklah. Apa permintaanmu Tua busuk.?” 
“Kalian boleh mengambil harta benda apa saja yang ada di rumah. Termasuk kucing kesayanganku yang berbulu putih mulus, dengan catatan…ada catatannya” 
“Apa catatannya?” 
“Asalkan kalian membiarkan Karaeng selamat. Tolonglah kami. Kamu jangan bunuh Karaeng. Please de..!. Dia masih punya anak-anak yang butuh belaian kasih dan sayang”. Nenek yang memiliki kucing 4 ekor ini mencoba negosiasi. Tapi tampaknya jurus bujuk rayu nenek tak mempan bagi para bajingan.
“Aaa..itu sih permohonan yang tak ada dalam SOP kami. Hanya ada satu kalimat buat kamu. Cepat suruh karaeng turun ke sini..!! Sebelum kami menyeret paksa dari atas. Sebelum kesabaran kami habis”. Teriak salah seorang diantara mereka sambil mengarahkan moncong senapan ke arah jendela.

“Klek” terdengar bunyi kokang senapan.
 “Tembak saja saya” Nenek masih menantang. Apa lagi nenek sudah dapat menangkap kalau situasi benar – benar sudah kritis. Bunyi kokang senapan membuat perasaannya yang semula berangsur tenang penuh kendali berubah menjadi pucat pasih seperti kaci. Namun sebagai orang yang kenyang pengalaman dia tetap berusaha menenangkan diri. Tapi dari pengalaman itupula Dia sudah bisa membaca apa yang akan terjadi. Dia sudah memastikan 99,99 persen kalau Karaeng betul-betul dalam bahaya.

 “Kurang ajar betul kamu. Dasar orang tua tidak tahu diuntung”. Kembali suara teriakan dari bawah rumah sambil terdengar suara kaki berlarian menaiki tangga. Mereka ada 3 orang. Muka ketiga orang itu tertutup rapat dengan baju singlet kumal cap angsa. Praktis mereka tidak bisa dikenali. Ketiganya lengkap dengan bedil yang siap memuntahkan peluru.

 “Hiiiik…aku…takutttt…..” Teriak Wijayanti sambil menutup wajahnya dengan kedua tanganya tatkala mendengar suara pintu didobrak. Begitupun dengan Palambaranna. Jantungnya berdegup keras. Sementara nenek masih berusaha memberikan perlawanan. Nenek berusaha nghalang-halangi agar para bajingan itu gagal memasuki kamar Karaeng. Nenek memelas minta dikasihani. Menyentuh bagian pundak salah seorang dari mereka. “Saya saja yang kau bunuh”. Kata nenek memelas, tapi dengan sebuah kibasan tangan orang berbedil itu membuat nenek terlempar ke belakang. Kembali nenek berusaha bangkit. Berusaha meraih kaki yang penuh lumpur. Sementara itu. Demi menyelamatkan diri, paman secara diam diam melangkah menuju pintu belakang. Dengan langkah yang sangat dipelankan. Mengendap-endap tapi pasti. Kini tinggal beberapa langkah lagi Karaeng sudah mencapai pintu. “Cepat, cepaaattttt…!!!” teriak Palambaranna dalam hati. “ Ya Tuhan lindungi Paman saya” Begitu hati Palambaranna memohon kepada Yang Maha Kuasa. Kini Kareng sudah berhasil mencapai pintu. Diraihnya gagang pintu. “Krekk…!!!” Terdengar suara pintu terbuka. “Hei itu dia. Temmbakkk..!!!!” dan “Dooorrrrr…..!!!!” Sebuah letusan membelah kesunyian di dalam rumah Karaeng Menrah. Bersamaan dengan itu abruknya Karaeng Menrah meregang nyawa. Karaeng Menrah pun tewas bersimbah darah tanpa ada yang sempat memberikan pertolongan. Salah seorang diantara mereka mendekati mayat Karaeng Menrah. Lalu dengan menggunakan kaki orang itu membalikkan mayat Karaeng Menrah. Memastikan kalau operasinya sukses. Lantas ketiga pembunuh itupun langsung kabur menorobos kelamnya malam. Palambaranna hanya bisa diam membisu dan terpaku. Seakan tak percaya dari apa yang baru dia saksikan. Betulkah saya sudah menyaksikan sebuah pembunuhan. Keji dan biadab. Teriaknya dalam hati. Bulu kuduknya berdiri. Tapi luapan emosinya seakan menumbuhkan benih-benih dendam di kalbunya. Sebuah kekuatan dahsyat seakan meledak di dalam hatinya. Palambaranna dihantui perasaan dendam untuk membalas kematian Karaeng Menrah. Palambaranna dengan sekuat tenaga menahan amarah. Dia tersiksa didalam kebisuannya. Hatinya seakan mau meledak menahan emosi. Teriakan dan tangis orang-orang di dalam rumah seketika bembahana. Puanta Palambaranna seakan tak percaya. Pamannya yang selama ini menjadi tumpuan harapannya telah pergi. Pergi untuk selamanya. Hatinya gelisah dan hancur berkeping keping. Hatinya ingin berteriak sekencang-kencangnya menahan amarah yang membarah. Andaikan saya seorang raksasa. Saya akan cabik-cabik kamu semua. Hatinya seakan disesaki perasaan dendam. Ingin rasanya dia bisa terbang dan punya kekuatan seperti Superman. Mau menghabisi para pembunuh keji itu. Andai Palambaranna tahu. Menjadi parakangpun dia mau. Agar dia bisa membalas kekejian yang baru saja dia saksikan. Sebuah tangan keriput membelai rambutnya. Tangan yang sudah sangat dia kenali. Tangan nenek Nikita. “Palambaranna sini berkumpul di kamar. Kamu harus sabar. Tuhan pasti membalas orang yang keji”. Terdengar jelas kata nenek. Palambaranna terdiam tanpa jawaban. Air mata sedih mengalir di pipinya. Tapi dia tidak sehisteris seperti yang lainnya. Meraung-raung mengiringi kematian Karaeng Menrah. Dalam waktu sekejap. Rumah karaeng Menrah sudah dipenuhi oleh orang sekampung. Mereka semua pada bersedih menyaksikan apa yang telah terjadi. Tiada yang menyangkah akan terjadi tragedy memilukan seperti itu. “Palambaranna! Besok sebelum pagi tiba. Kamu dan sepupumu harus meninggalkan kampung ini.” Kata nenek dalam suara terbata sambil menyeka air mata di pipinya. “Maksudnya Nek?” Jawab Palambaranna sambil terisak. “Saya kuatir kalau-kalau para bajingan itu kembali menghabisi kami. Terutama putra putri Karaeng” “Kalau dia bermaksud menghabisi Dia, maka tadi sudah dia lakukan Nek” Jawab Palambaranna meyakinkan Neneknya. Mendengar jawaban seperti itu, nenek terdiam sejenak. “Cerdas juga ini anak.” Diam-diam Karaeng Nikita mengagumi kecerdasan Palambaranna. “Saya setuju dengan pendapatmu. Namun juga saya sangat kuatir. Anggaplah bahwa pendapatmu betul. Namun Kita juga harus selalu ingat akan kemungkinan terburuk. Mengerti kira-kira maksudku?” “Kemungkinan bajingan itu kembali ke sini sangat kecil Nek” kata Palambaranna berlagak seorang analis. “Okelah. Anggaplah teorimu itu benar. Tapi kamu harus mempertimbangkan situasi yang tengah melanda kami sekarang. Sekecil apapun sesuatu kemungkinan akan terjadi, dalam siatuasi seperti ini tak boleh diabaikan. Alangkah bijak jika kita mengantisifasinya secara dini”. Nenek Nikita memberikan nasihat. Tapi lebih mirip dosen dan mahasiswa. Mengajari Palambaranna untuk selalu menyikapi sesuatu persolan dengan hati-hati. “Selalulah bersikap waspada dan penuh pertimbangan. Setiap langkah harus dengan pertimbangan untung rugi yang mantap. Setiap keputusan yang kita ambil harus selalu berdasarkan analisis data dan informasi. Bahkan kalau perlu kau harus mengasah pikiranmu agar mampu meramalkan sesuatu ke depan. Saya memperhatikan dari kalimatmu. Tatapan matamu. Gerak bahu dan tanganmu, saya yakin kalau kamu memiliki bakat seni dan kecerdasan mumpuni. Kamu bisa menjadi seorang Peramal handal” Nenek melajutkan kuliahnya panjang lebar. “Kok nasehat nenek sama dengan isi buku yang pernah kubaca.” Palambaranna teringat dengan isi buku kumal milik pamannya. Buku ini tidak sembarang orang bisa membacanya. Buku kumal yang mamakai tulisan lontara itu berisi tentang bagaimana bertindak dengan bilangan. Judul buku itu “Bilangan dan Motivasi Diri”. Palambaranna sangat bangga memiliki nenek seperti Nikita. Bukan hanya punya banyak dongeng, tapi juga berwawasan luas. Palambaranna membatin. Berkat buku kumal itulah Palambaranna secara tak langusng memiliki kemampuan menganilisis suatu persoalan. Buku itu sering Dia baca secara sembunyi-sembunyi. Palambaranna juga tau membaca berkat neneknya yang mengajari huruf-huruf lontara. “Tapi..???” “Tapi apa lagi.? Lagian jika kita melihat peluang bajingan pulang atau tidak, maka yang benar khan fifti-fifti.” Sanggah Neneknya tak mau kalah. “Hhmmmm…..iya, ya…Tapi siapa yang menemani kami Nek?” “Nanti ada Pak Dadaf menemani kamu”. “Nasib sepeupumu ada sama kamu dan Pak Dadaf. Bawalah sepupumu ke Makassar. Jangan lupa persediaan untuk 4 hari di perjalanan. Kalau perlu malam ini juga kau harus tinggalkan Menrah.” Palambaranna merasa sangat puas dan yakin mendapat penjelasan dari Nikita. Seketika itu juga dengan cepat mereka mempersiapkan bekal yang diperlukan. Tanpa membuang banyak waktu, mereka menuruti nasihat nenek. “Aku takut. Saya tidak mau pergi” Teriak Wijayanti sepupu Palambaranna. Tampak Wijayanti dari jauh sedang mengamati mayat ayahnya. Seonggok tubuh terbungkus sarung bersimbah darah. Namun karena tak tahan memandang warna darah, Wijayanti buru-buru memalingkan wajahnya. Palambaranna sangat pedih menyaksikan adik sepupunya itu. Sebuah raut wajah dingin menoleh ke arahnya. Palambaranna menatap mata itu. Mereka saling bertatapan. Saling memandang dengan irisan kesedihan masing-masing. Palambaranna menangkap raut wajah ketakutan dan kesedihan yang mendalam. Jelas tergambar di wajah sepupunya. Palambaranna tak kuasa membendung air mata. “Kamu akan baik baik saja. Kamu akan ditemani oleh Pak Dadak”. Bujuk nenek. “Tidak mau. Aku tidak mau!” “Begini. Apakah kamu tidak takut kalau tiba tiba pembunuh itu datang dan juga mencari kamu”. Biarkanlah kami mengurus Ayahmu.” Kata nenek meyakinkan Wijayanti. Apakah Wijayanti mau menuruti neneknya. Apakah para penjahat itu kembali mencari anak-anak Karaeng Menrah ? Nantikan episode berikutnya (Bersambung).