Senin, 17 Maret 2014

KARAENG MENRAH TERTEMBAK (1)

     Malam belum terlalu larut. Tetes-tetes air hujan yang jatuh dari ujung atap terdengar mengiringi detak sekondek jam yang baru menunjuk pukul 20.06 wita. Hujan baru saja berhenti. Tak ada suara jangkrik dan binatang malam lainnya. Sesekali cahaya kilat menyambar dan menerangi langit malam. Menerobos di celah-celah dinding kayu rumah Karaeng Menrah. Terdengar lolongan anjing membelah kesunyian malam mendirikan bulu roma. Lampu petromaks di dalam rumah Karaeng Menrah masih menyala. 

      Husen baru saja pulang meninggalkan istana. Husen adalah satu-satunya anggota Satuan Polisi Pamong Praja alias Satpol PP yang ditugaskan di rumah Karaeng Menrah. Situasi kondisi Menrah yang aman tenteram sebetulnya bukan masalah jika tak menempatkan anggota Satpol PP. Namun sebagai sebuah kerajaan, maka satuan pengaman sebagai aturan formal tetaplah perlu. Oleh karena itu di rumah Karaeng Menrah ditempatkanlah Bapak Husen sebagai security. 

      Tinggal di rumah Karaeng Menrah ada beberapa orang. Selain Karaeng Menrah bersama istrinya. Juga ada dua orang anaknya. Satu putri namanya Wijayanti. Dia adalah anak tertua. Usianya 7 tahun. Sedangkan yang putra bernama Andi Agung (6 tahun). Salah seorang tante Karaeng Menrah berusia 65 tahun yang belum punya suami. Namanya Karaeng Nikita. Biasa dipanggil nenek. Selain itu, masih ada beberapa orang perempuan yang membantu dalam urusan rumahtangga Karaeng Menrah. 

     Palambaranna seorang bocah laki-laki usia 6 tahun adalah ponakan Karaeng Menrah yang juga tinggal di rumah itu. Memberi gelar pada dirinya sendiri sebagai Puanta Palambaranna. 

     Seperti biasanya setiap malam menjelang tidur. Sebagai pengantar tidur. Nenek tak pernah absen untuk berdongeng buat Wijayanti dan Andi Agung. Puanta Palambaranna juga selalu ikut mendengar. Memang Puanta Palambaranna termasuk penggemar setia dongeng nenek Karaeng Nikita. Kalau malam sudah tiba maka yang paling dinanti oleh ketiga Bocah ini adalah saat-saat dimana Nenek berdongeng. Pada suatu malam. Di tengah untaian cerita sebuah dongeng Si Kancil dan Buaya. Sekonyong-konyong terdengar teriakan keras dari luar rumah. 

     Ssssstttt..!!!?? nenek memberi isyarat agar kami diam sambil meletakkan telunjuk dibibirnya. Seketika itu juga rasa penasaran akan kelanjutan cerita menjadi lenyap. Berganti menjadi kekesalan. Tapi juga kami sangat ketakutan. Bukan apa-apa. Baru kali inilah kami mendengar teriakan dari luar rumah. Apalagi di malam hari. Secara spontan Wijayanti menarik bantal. Membalikkan badan menelungkupkan dan menenggelamkan seluruh kepalanya di atas bantal. Selang beberapa menit. Merasa aman-aman saja. Wijayanti kembali membalikkan badan sambil menarik nafas panjang. Perasaannya sedikit plong. Namun sekonyong-konyong seberkas cahaya kilat menyambar langit kelam. Badan saya sedikit terangkat sementara kedua kaki saya menendang karena kaget. Percis mengenai kaki meja. Sebuah gelas terbanting pecah jatuh dari atas meja. Untung seluruh isinya telah saya habiskan. “iihkkhhh…!!” teriak Wijayanti ketakutan. 

 “We..Karaeeeeenngggg..turunko dari rumah…!!??” Kembali terdengar teriakan dari luar rumah. Mendengar teriakan itu. Kembali kami semua terdiam. Saling berpandangan dalam kebisuan. Bertanya-tanya gerangan siapa yang lancang seperti itu. Kurang ajar betul mereka. Selama ini tak pernah sekalipun kami mendengar orang berbuat lancang di rumah karaeng. Jangankan berteriak. Jalanpun, kalau memasuki halaman istana maka harus dengan adat sopan santun. Badan dibungkukkan sementara tangan harus ke bawah. Menjadi semacam penghalang antara badan orang dengan karaeng. Belum lagi setiap orang yang mau ketemu karaeng harurlah melapor dan seizing Pak Husen. Ini pasti ada yang tidak beres. Pikir Palambaranna dalam hati. Terlebih kami semua pada ketakutan karena Pak Husen sebagai security tidak ada di rumah. 

Itulah barangkali sehingga nenek mengambil inisiatif bangkit dan menuju jendela. Mencari tahu orang siapa yang lancang itu. Nenek membuka jendela. Menengok keluar namun tak melihat siapa-siapa kecuali gelapnya malam. 

 “Mana Karaeng..!!??” terdengar sebuah teriakan namun nenek tak bisa melihat orangnya. 
 “Emang kamu siapa bisa lancang begitu. ?” Teriak nenek dengan lutut gemetaran. 
“Tidak perlu kamu tahu. Cepat suruh ke sini”. 
 “Karaeng tidak ada di rumah” 
“Bohong kamu orang tua” 
“Memang ada perlu apa kamu dengan Karaeng ?” “Tidak ada keperluan khusus kecuali memenggal kepalanya..!!” 
 “Apa..??. Penggal kepala..?? Emang kamu pikir memenggal orang segampang memenggal kepala ikan” “Ini kepala saya yang kau penggal kalau kau berani” Tantang nenek yang berusaha sekuat tenaga memompa keberaniannya. 
“Hei nenek tua. Untuk apa memenggal kepalamu. Sebentar juga kau sudah bau tanah. Lagian yang saya butuh adalah kepalanya Karaeng. Bukan kepala ubanmu” 
“Apa tidak bisa ditukar dengan kepalaku. Tua-tua begini saya masih perawan. Tauu..!!!” 
“Hei nenek. Cepat. jangan banyak cincong. Dasar perempuan dua mulutnya” 
“Masih mending punya dua mulut, daripada kamu. Punya satu mulut tapi lancang tak tahu sopan santun. 
"Begini. Saya punya permintaan” 
“Minta, minta…Belli dong..!! Emang kamu pikir di dunia ini serba gratis. 
"Tapi baiklah. Apa permintaanmu Tua busuk.?” 
“Kalian boleh mengambil harta benda apa saja yang ada di rumah. Termasuk kucing kesayanganku yang berbulu putih mulus, dengan catatan…ada catatannya” 
“Apa catatannya?” 
“Asalkan kalian membiarkan Karaeng selamat. Tolonglah kami. Kamu jangan bunuh Karaeng. Please de..!. Dia masih punya anak-anak yang butuh belaian kasih dan sayang”. Nenek yang memiliki kucing 4 ekor ini mencoba negosiasi. Tapi tampaknya jurus bujuk rayu nenek tak mempan bagi para bajingan.
“Aaa..itu sih permohonan yang tak ada dalam SOP kami. Hanya ada satu kalimat buat kamu. Cepat suruh karaeng turun ke sini..!! Sebelum kami menyeret paksa dari atas. Sebelum kesabaran kami habis”. Teriak salah seorang diantara mereka sambil mengarahkan moncong senapan ke arah jendela.

“Klek” terdengar bunyi kokang senapan.
 “Tembak saja saya” Nenek masih menantang. Apa lagi nenek sudah dapat menangkap kalau situasi benar – benar sudah kritis. Bunyi kokang senapan membuat perasaannya yang semula berangsur tenang penuh kendali berubah menjadi pucat pasih seperti kaci. Namun sebagai orang yang kenyang pengalaman dia tetap berusaha menenangkan diri. Tapi dari pengalaman itupula Dia sudah bisa membaca apa yang akan terjadi. Dia sudah memastikan 99,99 persen kalau Karaeng betul-betul dalam bahaya.

 “Kurang ajar betul kamu. Dasar orang tua tidak tahu diuntung”. Kembali suara teriakan dari bawah rumah sambil terdengar suara kaki berlarian menaiki tangga. Mereka ada 3 orang. Muka ketiga orang itu tertutup rapat dengan baju singlet kumal cap angsa. Praktis mereka tidak bisa dikenali. Ketiganya lengkap dengan bedil yang siap memuntahkan peluru.

 “Hiiiik…aku…takutttt…..” Teriak Wijayanti sambil menutup wajahnya dengan kedua tanganya tatkala mendengar suara pintu didobrak. Begitupun dengan Palambaranna. Jantungnya berdegup keras. Sementara nenek masih berusaha memberikan perlawanan. Nenek berusaha nghalang-halangi agar para bajingan itu gagal memasuki kamar Karaeng. Nenek memelas minta dikasihani. Menyentuh bagian pundak salah seorang dari mereka. “Saya saja yang kau bunuh”. Kata nenek memelas, tapi dengan sebuah kibasan tangan orang berbedil itu membuat nenek terlempar ke belakang. Kembali nenek berusaha bangkit. Berusaha meraih kaki yang penuh lumpur. Sementara itu. Demi menyelamatkan diri, paman secara diam diam melangkah menuju pintu belakang. Dengan langkah yang sangat dipelankan. Mengendap-endap tapi pasti. Kini tinggal beberapa langkah lagi Karaeng sudah mencapai pintu. “Cepat, cepaaattttt…!!!” teriak Palambaranna dalam hati. “ Ya Tuhan lindungi Paman saya” Begitu hati Palambaranna memohon kepada Yang Maha Kuasa. Kini Kareng sudah berhasil mencapai pintu. Diraihnya gagang pintu. “Krekk…!!!” Terdengar suara pintu terbuka. “Hei itu dia. Temmbakkk..!!!!” dan “Dooorrrrr…..!!!!” Sebuah letusan membelah kesunyian di dalam rumah Karaeng Menrah. Bersamaan dengan itu abruknya Karaeng Menrah meregang nyawa. Karaeng Menrah pun tewas bersimbah darah tanpa ada yang sempat memberikan pertolongan. Salah seorang diantara mereka mendekati mayat Karaeng Menrah. Lalu dengan menggunakan kaki orang itu membalikkan mayat Karaeng Menrah. Memastikan kalau operasinya sukses. Lantas ketiga pembunuh itupun langsung kabur menorobos kelamnya malam. Palambaranna hanya bisa diam membisu dan terpaku. Seakan tak percaya dari apa yang baru dia saksikan. Betulkah saya sudah menyaksikan sebuah pembunuhan. Keji dan biadab. Teriaknya dalam hati. Bulu kuduknya berdiri. Tapi luapan emosinya seakan menumbuhkan benih-benih dendam di kalbunya. Sebuah kekuatan dahsyat seakan meledak di dalam hatinya. Palambaranna dihantui perasaan dendam untuk membalas kematian Karaeng Menrah. Palambaranna dengan sekuat tenaga menahan amarah. Dia tersiksa didalam kebisuannya. Hatinya seakan mau meledak menahan emosi. Teriakan dan tangis orang-orang di dalam rumah seketika bembahana. Puanta Palambaranna seakan tak percaya. Pamannya yang selama ini menjadi tumpuan harapannya telah pergi. Pergi untuk selamanya. Hatinya gelisah dan hancur berkeping keping. Hatinya ingin berteriak sekencang-kencangnya menahan amarah yang membarah. Andaikan saya seorang raksasa. Saya akan cabik-cabik kamu semua. Hatinya seakan disesaki perasaan dendam. Ingin rasanya dia bisa terbang dan punya kekuatan seperti Superman. Mau menghabisi para pembunuh keji itu. Andai Palambaranna tahu. Menjadi parakangpun dia mau. Agar dia bisa membalas kekejian yang baru saja dia saksikan. Sebuah tangan keriput membelai rambutnya. Tangan yang sudah sangat dia kenali. Tangan nenek Nikita. “Palambaranna sini berkumpul di kamar. Kamu harus sabar. Tuhan pasti membalas orang yang keji”. Terdengar jelas kata nenek. Palambaranna terdiam tanpa jawaban. Air mata sedih mengalir di pipinya. Tapi dia tidak sehisteris seperti yang lainnya. Meraung-raung mengiringi kematian Karaeng Menrah. Dalam waktu sekejap. Rumah karaeng Menrah sudah dipenuhi oleh orang sekampung. Mereka semua pada bersedih menyaksikan apa yang telah terjadi. Tiada yang menyangkah akan terjadi tragedy memilukan seperti itu. “Palambaranna! Besok sebelum pagi tiba. Kamu dan sepupumu harus meninggalkan kampung ini.” Kata nenek dalam suara terbata sambil menyeka air mata di pipinya. “Maksudnya Nek?” Jawab Palambaranna sambil terisak. “Saya kuatir kalau-kalau para bajingan itu kembali menghabisi kami. Terutama putra putri Karaeng” “Kalau dia bermaksud menghabisi Dia, maka tadi sudah dia lakukan Nek” Jawab Palambaranna meyakinkan Neneknya. Mendengar jawaban seperti itu, nenek terdiam sejenak. “Cerdas juga ini anak.” Diam-diam Karaeng Nikita mengagumi kecerdasan Palambaranna. “Saya setuju dengan pendapatmu. Namun juga saya sangat kuatir. Anggaplah bahwa pendapatmu betul. Namun Kita juga harus selalu ingat akan kemungkinan terburuk. Mengerti kira-kira maksudku?” “Kemungkinan bajingan itu kembali ke sini sangat kecil Nek” kata Palambaranna berlagak seorang analis. “Okelah. Anggaplah teorimu itu benar. Tapi kamu harus mempertimbangkan situasi yang tengah melanda kami sekarang. Sekecil apapun sesuatu kemungkinan akan terjadi, dalam siatuasi seperti ini tak boleh diabaikan. Alangkah bijak jika kita mengantisifasinya secara dini”. Nenek Nikita memberikan nasihat. Tapi lebih mirip dosen dan mahasiswa. Mengajari Palambaranna untuk selalu menyikapi sesuatu persolan dengan hati-hati. “Selalulah bersikap waspada dan penuh pertimbangan. Setiap langkah harus dengan pertimbangan untung rugi yang mantap. Setiap keputusan yang kita ambil harus selalu berdasarkan analisis data dan informasi. Bahkan kalau perlu kau harus mengasah pikiranmu agar mampu meramalkan sesuatu ke depan. Saya memperhatikan dari kalimatmu. Tatapan matamu. Gerak bahu dan tanganmu, saya yakin kalau kamu memiliki bakat seni dan kecerdasan mumpuni. Kamu bisa menjadi seorang Peramal handal” Nenek melajutkan kuliahnya panjang lebar. “Kok nasehat nenek sama dengan isi buku yang pernah kubaca.” Palambaranna teringat dengan isi buku kumal milik pamannya. Buku ini tidak sembarang orang bisa membacanya. Buku kumal yang mamakai tulisan lontara itu berisi tentang bagaimana bertindak dengan bilangan. Judul buku itu “Bilangan dan Motivasi Diri”. Palambaranna sangat bangga memiliki nenek seperti Nikita. Bukan hanya punya banyak dongeng, tapi juga berwawasan luas. Palambaranna membatin. Berkat buku kumal itulah Palambaranna secara tak langusng memiliki kemampuan menganilisis suatu persoalan. Buku itu sering Dia baca secara sembunyi-sembunyi. Palambaranna juga tau membaca berkat neneknya yang mengajari huruf-huruf lontara. “Tapi..???” “Tapi apa lagi.? Lagian jika kita melihat peluang bajingan pulang atau tidak, maka yang benar khan fifti-fifti.” Sanggah Neneknya tak mau kalah. “Hhmmmm…..iya, ya…Tapi siapa yang menemani kami Nek?” “Nanti ada Pak Dadaf menemani kamu”. “Nasib sepeupumu ada sama kamu dan Pak Dadaf. Bawalah sepupumu ke Makassar. Jangan lupa persediaan untuk 4 hari di perjalanan. Kalau perlu malam ini juga kau harus tinggalkan Menrah.” Palambaranna merasa sangat puas dan yakin mendapat penjelasan dari Nikita. Seketika itu juga dengan cepat mereka mempersiapkan bekal yang diperlukan. Tanpa membuang banyak waktu, mereka menuruti nasihat nenek. “Aku takut. Saya tidak mau pergi” Teriak Wijayanti sepupu Palambaranna. Tampak Wijayanti dari jauh sedang mengamati mayat ayahnya. Seonggok tubuh terbungkus sarung bersimbah darah. Namun karena tak tahan memandang warna darah, Wijayanti buru-buru memalingkan wajahnya. Palambaranna sangat pedih menyaksikan adik sepupunya itu. Sebuah raut wajah dingin menoleh ke arahnya. Palambaranna menatap mata itu. Mereka saling bertatapan. Saling memandang dengan irisan kesedihan masing-masing. Palambaranna menangkap raut wajah ketakutan dan kesedihan yang mendalam. Jelas tergambar di wajah sepupunya. Palambaranna tak kuasa membendung air mata. “Kamu akan baik baik saja. Kamu akan ditemani oleh Pak Dadak”. Bujuk nenek. “Tidak mau. Aku tidak mau!” “Begini. Apakah kamu tidak takut kalau tiba tiba pembunuh itu datang dan juga mencari kamu”. Biarkanlah kami mengurus Ayahmu.” Kata nenek meyakinkan Wijayanti. Apakah Wijayanti mau menuruti neneknya. Apakah para penjahat itu kembali mencari anak-anak Karaeng Menrah ? Nantikan episode berikutnya (Bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar