Rabu, 16 April 2014

KARAENG MANIPI TERTEMBAK (02)

           Sementara di tempat lain. Para bajingan telah tiba di markasnya.  Mereka memasuki rumah bosnya dengan langkah mantap penuh kemenangan.  Sang pembawa misi tembak kepala Karaeng Manipi. Terlebih pimpinan regunya. Seluruh ekspresi anggota badannya tergambar jelas sangat bergembira dan berbunga-bunga.  Mulai dari cara jalan yang seakan menguasai seluruh badan jalan. Nyaris tak menyisakan sedikitpun untuk orang lain. Berjalan dengan kedua tungkai kaki dikangkang selebar mungkin. Kedua telapak tangan dikencangkan dengan tenaga penuh sambil diayun kaku bak robot android. Tangan kanannya mencabut-lepas sebatang rokok dari bibirnya yang hitam sambil mengeluarkan lingkaran asap.  “huaahahahaha..!!!!” Suara gelak tawa terdengar  membahana dari ketiga orang ini. Memamerkan giginya yang kuning karena nikotin.

“Sukses Bos..!!” Kata pimpinan regu begitu sampai di rumah bosnya. Mendengar laporan demikian sang bos tampak sangan senang.
“Coba berikan laporan secara lengkap” kata bosnya dengan wajah sumringah.
“Betul Bos, bahkan anaknya yang kecilpun nyaris saya habisi” Timpal yang lain tak mau kalah.
“Kedua anaknya Karaeng Manipi maksud kamu ?” Tanya Sang Bos agak jengkel
“Iya Bos, masak anak saya.!” Kata yang lain tak kalah bersemangatnya.   

“Adduuhhhh..!!!” Keluh Bosnya sambil mukul jidat. “Tanggung. Tanggung. Tanggung. Kenapa kamu tidak menghabisi sekalian saja”.
“Begini bos..”
“Begini apa ? Kerjamu serba tanggung dan amatiran. Tidak professional” Bentak Bosnya sambil memukul keras meja di depannya. Sepiring singkong goreng melayang berhamburan di udara. Satu diantara sekian potongan singkong menembus mulut salah seorang anak buahnya. “uenakk….lumayan mengganjal perut” bisik anak  buahnya sambil mengunyah singkong.
“Anu..bos…Saya mau menghabisi semua, tapi ….Puang Pallado bilang..” Kata salah seorang pembunuh sambil menyenggol bahu pimpinannya, “Tuh..apa kubilang..khan saya bilang kita habisi semua saja”
“Pallado bilang apa ?”
“Nanti kita terlalu banyak dosa bos” Sambungnya.

“Sejak kapan kau pintar ngomong dosa”  kata bosnya sambil menghadiahi ketupat ambon di perut  Pallado. Mendapat pukulan keras dari bosnya Pallado hanya terdiam menahan sakit.
“Coba saya mau dengar laporan eksekusimu di lapangan”
“Eksekusi dilaksanakan sesuai petunjuk bos. Kami menghabisi dulu Pak Husen. “

“Cara menghabisinya bagaimana. Apakah dijamin tak ada orang yang tahu”
“Secara kebetulan kami berpapasan di tengah jalan. Kami bertemu Pak Husen. Kesempatan emas itulah yang kami gunakan. Dijamin aman bos”
 “Bagus, bagus…hhhhmmmm…kalau begitu segera ke TKP dan habisi anak-anak mereka sebelum keadaan menjadi ramai.”  Perintah bosnya dengan bersemangat.
Melihat gelagat Bosnya, Pallado yang diberi tugas memimpin segera bergegas pergi. Menuju  rumahnya Karaeng Manipi untuk menjalankan misi kedua. Sementara dua orang lainnya, tanpa diperintah lagi  segera membungkuk-bungkukan badan lalu memutar badan menyusul pimpinan regunya. 

Sesampai di rumah Karaeng. Suasananya sudah berbeda. Cahaya obor terlihat di sana-sini. Pertanda tempat tinggal Karaeng sudah dipenuhi banyak orang.
“Apa yang bisa kita buat dalam keadaan seperti ini. Rencana sudah tidak mungkin dilakukan”  Kata pimpinannya agak putus asa.
“Kamu bego sekali. Tadi seharusnya sudah kau habisi semua.” Sambung Puang Pallado menyalahkan anak buahnya.
“Jangan salahkan saya. Tadi moncong bedilku sudah nyaris menyalak tapi karena perintahmu saya batalkan” Sanggah anak buahnya membela diri.
“Sudah.! Jangan diperpanjang dan jangan buat kesalahan lagi. Ssssttt… diam.! Kita sudah sampai” Pimpinan bajingan memperingatkan kepada anak buahnya. Ketiga orang ini mempercepat langkahnya. Tanpa disengaja, pimpinan bajingan menyenggol seseorang yang berjalan lebih pelan di depannya.

Sesampai di rumah Karaeng. Suasananya sudah berbeda. Cahaya obor terlihat di sana-sini. Pertanda tempat tinggal Karaeng sudah dipenuhi banyak orang.
“Apa yang bisa kita buat dalam keadaan seperti ini. Rencana sudah tidak mungkin dilakukan”  Kata pimpinannya agak putus asa.
“Kamu bego sekali. Tadi seharusnya sudah kau habisi semua.” Sambung Puang Pallado menyalahkan anak buahnya.
“Jangan salahkan saya. Tadi moncong bedilku sudah nyaris menyalak tapi karena perintahmu saya batalkan” Sanggah anak buahnya membela diri.
“Sudah.! Jangan diperpanjang dan jangan buat kesalahan lagi. Ssssttt… diam.! Kita sudah sampai” Pimpinan bajingan memperingatkan kepada anak buahnya. Ketiga orang ini mempercepat langkahnya. Tanpa disengaja, pimpinan bajingan menyenggol seseorang yang berjalan lebih pelan di depannya.

“Ya .. begitulah maksud terburu-buru kami. Kami datang ke sini untuk menyelidiki kematian Karaeng. Mencari tau siapa pembunuhnya. Jadi kamu jangan bertindak menghalangi. Kamu bisa dikenai tuduhan menghalang-halangi jalannya penyelidikan. Kamu bisa dituduh mau lakukan subversi.” Kata anak buah Pallado.
“Subversi. Apa itu subversi Puang ?“ Tanya orang yang ditabrak
“Perampasan kekuasan tolol.! Ngomong-ngomong apakah pelakunya sudah ketahuan ?” Sambungnya lagi.
“Be..beluuummmm..mana bisa ketahuan, orang kejadiannya dimalam gelap gulita, Puang” Jawab orang yang ditabrak. Padahal orang ini baru saja tiba. Belum ada info yang dia dapat tapi demi menghindari berurusan dengan Puang Pallado maka dia memberikan jawaban seadanya tapi meyakinkan.
 
“Bukan tidak mungkin mereka para pembunuh itu ada diantara kerumunan  orang banyak Puang. Kita perlu hati-hati“ Sambungnya.
“Akhh..sudah.! Saya tak butuh penjelasanmu.” Bentak Puang Pallado sambil melangkah lebih mendekati rumah Karaeng.

 Sementara dari arah berlawanan, tampak seorang laki-laki memikul karung. Di belakangnya ada tiga orang Bocah. Langkahnya terburu-buru.  Dia adalah Pak Dadaf bersama Wijayanti, Andi Agung, dan Menrah.  Pak Dadaf mewaspadai orang yang datang di depannya sehingga  tak memperhatikan lagi jalanan di depannya. Secara tak sengaja Pak Dadaf terperosok kedalam air comberan. Terpercik mengenai hampir seluruh baju Wijayanti, Andi Agung,  dan Menrah. Semuanya menjadi kotor dan berbau. Bahkan percikan sempat mengenai mulut Puang Pallado.
Puang Pallado kaget dan berteriak

“Hei siapa kalian.?
“Saya pengemis Puang. Anak-anak saya sudah empat hari tidak makan.” Jawab Pak Dadaf dengan menggelembungkan bagian dalam pipinya agar suaranya tersamarkan.
“untuk apa datang ke sini ?”
“Minta beras Puang”
“Minta atau menjarah”
“Iya Puang..eeee..tid” Pak Dadaf salah ucap. Sebetulya dia mau bilang “tidak” tapi terlanjur dan tak sempat lagi meralatnya
“Apa. Menjarah? Bagus!  Bagus! Bagus…! Sesekali menjarah di rumah Karaeng diperbolehkan. Jangan hanya dia saja yang menikmati hasil panennya” Mendengar jawaban Puang Pallado hati Pak Dadaf sangat plong. Karena itu berarti penyamaranya berhasil. Bahkan dengan PD Dia meminta kepada Pallado

“Puang..Minta.!” Kata Pak Dadaf sambil menengadahkan tangan kanannya. Badannya dibungkukkan hingga hampir rata dengan tanah.
“Apa minta..!! Dasar pengemis bokek tidak punya uang. Sana pergi.!!” Teriak Puang Pallado sambil melayangkan  tendangan ke bokong Pak Dadap. Kontan tubuh pak Dadap sempoyongan hampir mencium comberan. Mati-matian mempertahankan dekapannya terhadap karung agar tidak terlepas dan berhamburan isinya. Sebuah batu sebesar kepalan tangan mengganjal langkah kakinya dan “bruk !!”  Pak Dadaf terjatuh.  Berasnya berhamburan. Nyaris tak ada sisa lagi. Dasar bajingan.  Pak Dadaf membatin. 


Pak Dadaf terus saja memperhatikan Puang Pallado bersama ketiga temannya. “Hmmm..dasar pengecut dan balikbellang” bisik hati Pak Dadaf.  “Orang ini tak lebih dari ular air. Jangan-jangan…….. Tapi akhh…” Pikirannya diliputi berbagai kecurigaan. 
“Pak Dadaf kenapa menghayal. Ada apa…. ?” Tanya Menrah
“Ti..ti..dak. ayo kita pergi.!” Kata Pak Dadaf sambil meneruskan perjalanannya.

Sementara itu. Puang Pallado sudah berbaur dengan masyarakat yang memenuhi rumah Karaeng Manipi. Tidak terlihat pengamanan khusus yang biasa dikoordinir oleh Pak Husen. Beberapa tokoh masyarakat yang datang berinisiatif membentuk pengamanan swakarsa. Yaitu beberapa orang Hansip diminta untuk berjaga-jaga dan mengamankan situasi.

Ketidakmunculan Pak Husen menimbulkan kecurigaan orang-orang yang datang.  Bahkan terdengar bisik-bisik pembunuhan ini bisa terjadi karena ada kerjasama pembunuh dengan Pak Husen. Tak sedikit pula yang memberi sumpah serapah kepada Pak Husen. Menganggap Pak husen sebagai Satpol PP yang tak berguna sama sekali. “Sebagai orang yang digaji oleh daerah untuk menjaga Karaeng seharusnya dia ada di sini” Begitu bisisk-bisisk yang santer terdengar.

Sementara itu Pak Pallado dan kedua anggotanya berbaur dengan mayarakat lainnya yang hadir. Mereka dengan aktif mencari informasi keberadaan kedua anak Karaeng Manipi. Mereka berusaha menguping setiap pembicaraan.
“Kasian sekali ya Karaeng. Anak-anaknya masih bocah lagi”  salah seorang diantara yang datang bertanya ke temannya
“Iya ya. Terus anak-anaknya sekarang di mana, sedari tadi saya tidak pernah melihatnya ?” jawab temannya yang ditanya.
“Katanya sudah diungsikan. Mereka sudah tidak di rumah ini lagi”
“Terus istrinya di mana ?”

“Masih ada di rumah ini. Tadi mau diungsikan ke kota Sinjai bersama dengan mereka yang akan melaporkan kejadian ini di Pusat kota Sinjai tapi beliau menolak.”
“Kalau begitu saya yakin besok hari sudah datang tentara di Manipi sini”

Mendengar percakapan mereka, Puang Pallado dan kedua temanya semakin memperlebar lobang telinganya. Merasa misinya sulit dilaksanakan Pak Pallado memberi kode kepada dua orang anggotanya. Ia dan anak buahnya memilih pulang ke rumah Bosnya.

“Tadi itu anak-anaknya pengemis, badannya bagus-bagus ya. Subur-subur...?” Kata salah seorang bajingan sambil mencolek perut temannya. “Laki-lakinya ganteng dan perempuannya cantik. Padahal mereka hanya anak pengemis”. Sementara temannya yang dicolek diam saja.  

“Kalau saya punya anak mau rasanya berbesanan dengan itu penegmis tadi.” Katanya lagi. Lalu dia sambung dengan bertanya “Bagaimana.?”

“Ahk…bisakah kamu berhenti berkicau ! Mulutmu kayak nuri kelaparan saja tidak mau berhenti ngomong” jawab temannya sedikit kesal. Sementara Puang Pallado hanya senyum-senyum mendengar percakapan kedua anak buahnya. Namun percakapan yang terdengar di rumah Karaeng dan perjumpaannya dengan  pengemis bersama 3 orang bocah menibulkan tanda tanya bagi Puang Pallado. “Hhhmmmm….saya curiga pengemis tadi adalah Putra Putri Karaeng” Begitu dia membatin. Sementara itu kedua anak buanya masih saja asyik ngobrol.

“Karim. Saya mencurigai anak pengemis itu adalah anak Karaeng yang menyamar” kata Puang Pallado kepada salah seorang anak buahnya.

“ Iya bos. Lihat saja pakaiannya compang camping dan kotor penuh tanah tapi kelihatan sehat dan bugar. Beda mah kita ini. Badan kurus. Belum lagi seperti  si Cedak, sering batuk dan tetap kurus meski makannya rakus seperti jalak kelaparan”.
“Akh diam kamu” Kata yang lain sambil menjitak kepala temannya yang tak mau berhenti bicara. (BERSAMBUNG)






1 komentar:

  1. Ini cerita andi jayalangkara karaeng manipi yg mati di tembak sama keluarga sendiri ya ?

    BalasHapus